Perilaku manusia serta dinamika perilaku manusia
menjadi unsur utama yang kemudian di dalam proses imbal dayanya telah
mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan tertentu di dalam suatu kota. (“Behaviour
Patterns Of Individuals, Institutions And Firms Which Occur In Spatial
Patterns” (Chapin, 1965)). Stuart Chapin mengemukakan bahwa baik perorangan
ataupun kelompok masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap penggunaan
setiap jengkal lahan. Menurut Chapin perilaku manusia yang timbul karena adanya
nilai-nilai yang hidup di dalam persepsi perorangan atau kelompok tersebut,
tercermin di dalam suatu siklus yang terdiri dari 4 tahap / fase, yaitu:
(1)
Fase merumuskan kebutuhan (Needs) dan keinginan (Experiencing Needs
And Wants).
(2)
Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” dan “wants”
tersebut (Defining Goals).
(3)
Fase membuat alternatif perencanaan (Planning Alrernalives).
(4)
fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap sesuai dan melakukan tindakan
(Deciding And Acting).
Baik disadari atau tidak disadari, secara eksplisit
atau implisit, bagi individu ataupun kelompok individu, di dalam kiprahnya di
daerah perkotaan akan selalu menyebabkan terjadinya pola penggunaan lahan
tertentu. pola perilaku manusia dapat diamati dari sistem-sistem kegiatan yang dilaksanakan
baik oleh perorangan maupun badan-badan swasta dan pemerintah.
Menurut
Chapin, (1996:56), perubahan guna lahan adalah interaksi yang disebabkan oleh
tiga komponen pembentuk, yaitu sistem pembangunan, sistem aktivitas dan sistem
lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks per-ekonomian aktivitas
perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan konsumsi. Kegiatan
produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan mendukung aktivitas
produksi. Sedangkan pada kegiatan konsumsi membutuhkan lahan untuk berlokasi
dalam rangka pemenuhan kepuasan.
Kegiatan
produksi dan konsumsi, keduanya bertemu pada sistem pasar dan harga lahan
menjadi nilai standar untuk menentukan nilai lahan. Setiap aktivitas perkotaan
memiliki nilai sewa lahan untuk lokasi spesifik, yang di-pengaruhi oleh
nilai-nilai strategis yang diharapkan dan kemampuan kapasitas pembiayaan. Nilai
lahan tertinggi akan mengalahkan kompetisi didalam menawar dan memperoleh lahan
untuk berlokasi.
Proses
penawaran lahan akan menjadi pertimbangan didalam kebijakan pemerintah Kota
didalam bidang pertanahan. Proses didalam pasar menentukan dengan tepat rencana
guna lahan tanpa dipengaruhi trend pasar, dan kekuatan pasar cukup kuat
untuk mempertahankan rencana guna lahan sekarang sehingga rencana guna lahan
dapat diabaikan.
Pada
aspek penawaran, nilai harga lahan mengindikasikan tingkat keuntu-ngan dari
beberapa lokasi, komponen dari Tingkat keuntungan terdiri dari nilai potensial
lokasi yang mendukung kegiatan produktifitas dan pemenuhan tingkat kepuasan
dari aspek permintaan.
Komponen
utama dari tingkat keuntungan lokasi didalam studi adalah aksesibilitas, dan
Tingkat pelayanan (Level of Service). Kedua komponen ini dibentuk oleh
sistem pembangunan, yaitu dari investasi publik atau swasta.
Idealnya,
investasi sistem pembangunan, yaitu lokasi dan beberapa guna lahan mengacu pada
rencana guna lahan yang bertujuan untuk mengefektifkan pembangunan untuk
menciptakan pertumbuhan sistem aktivitas secara langsung.
Chapin,
Kaiser, dan Godschalk (1996:92) berpendapat, perubahan guna lahan juga dapat
terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan setempat yang merupakan rencana
dan kebijakan guna lahan untuk masa mendatang, projek pembangunan, program
perbaikan pendapatan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah dari pemerintah daerah. Perubahan guna lahan juga terjadi
karena kegagalan mempertemukan aspek pasar dan politis dalam suatu manajemen
perubahan guna lahan. Perubahan guna lahan secara umum artinya adalah
menyangkut trans-formasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu
penggunaan ke penggu- naan lainnya.
Perubahan pola ruang sering sekali
mengabaikan aspek lingkungan yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Upaya
untuk menanggulangi kerusakan lingkungan perkotaan sudah dilakukan sejak mulai
muncul kerusakan lingkungan pasca Revolusi Industri (akhir abad 19). Berbagai
langkah atau pendekatan telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan.
Perluasan kota pada lahan baru, pembangunan kembali kawasan kota terbangun
disesuaikan dengan kebutuhan jaman, pembangunan ke arah horizontal dan
vertical, merupakan upaya yang diharapkan dapat meningkatkan fungsi dan
kualitas lingkungan perkotaan. Pendekatan peremajaan kota adalah salah satu
upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.
Peremajaan kota pada awalnya merupakan
tanggapan terhadap tekanan perubahan sosial dan ekonomi yang berakibat pada
pengembangan fisik kota (Chopin, 1965). Dalam perkembangannya peremajaan kota
atau lebih dikenal dengan urbanfenewel adalah satu cara
untuk mengakomodasi pertumbuhan kota (urban growth) melalui upaya
regenerasi terencana pada kawasan terbangun bermasalah dengan program yang
bersiklus, terdiri dari : pembangunan kembali, rehabilitasi dan konservasi
(Chapin, 1965). Dengan demikian inti persoalan peremajaan kota bukan pada upaya
menciptakan perubahan kawasan kota dengan perluasan atau pembangunan baru
tetapi lebih menekankan pada upaya, menciptakan perubahan kawasan kota dengan
menata kembali, memanfaatkan kembali potensi dan fungsi yang ada termasuk
lingkungan, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah yang lebih memadai dari
kawasan kota yang diremajakan.
Sumber
: