Selasa, 26 Mei 2015

Land Use Planning-Stuart Chapin



Perilaku manusia serta dinamika perilaku manusia menjadi unsur utama yang kemudian di dalam proses imbal dayanya telah mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan tertentu di dalam suatu kota. (“Behaviour Patterns Of Individuals, Institutions And Firms Which Occur In Spatial Patterns” (Chapin, 1965)). Stuart Chapin mengemukakan bahwa baik perorangan ataupun kelompok masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap penggunaan setiap jengkal lahan. Menurut Chapin perilaku manusia yang timbul karena adanya nilai-nilai yang hidup di dalam persepsi perorangan atau kelompok tersebut, tercermin di dalam suatu siklus yang terdiri dari 4 tahap / fase, yaitu:
(1) Fase merumuskan kebutuhan (Needs) dan keinginan (Experiencing Needs And Wants).
(2) Fase merumuskan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan “needs” dan “wants” tersebut (Defining Goals).
(3) Fase membuat alternatif perencanaan (Planning Alrernalives).
(4) fase memutuskan memilih perencanaan yang dianggap sesuai dan melakukan tindakan (Deciding And Acting).
Baik disadari atau tidak disadari, secara eksplisit atau implisit, bagi individu ataupun kelompok individu, di dalam kiprahnya di daerah perkotaan akan selalu menyebabkan terjadinya pola penggunaan lahan tertentu. pola perilaku manusia dapat diamati dari sistem-sistem kegiatan yang dilaksanakan baik oleh perorangan maupun badan-badan swasta dan pemerintah.
Menurut Chapin, (1996:56), perubahan guna lahan adalah interaksi yang disebabkan oleh tiga komponen pembentuk, yaitu sistem pembangunan, sistem aktivitas dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks per-ekonomian aktivitas perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan mendukung aktivitas produksi. Sedangkan pada kegiatan konsumsi membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan.
Kegiatan produksi dan konsumsi, keduanya bertemu pada sistem pasar dan harga lahan menjadi nilai standar untuk menentukan nilai lahan. Setiap aktivitas perkotaan memiliki nilai sewa lahan untuk lokasi spesifik, yang di-pengaruhi oleh nilai-nilai strategis yang diharapkan dan kemampuan kapasitas pembiayaan. Nilai lahan tertinggi akan mengalahkan kompetisi didalam menawar dan memperoleh lahan untuk berlokasi.
Proses penawaran lahan akan menjadi pertimbangan didalam kebijakan pemerintah Kota didalam bidang pertanahan. Proses didalam pasar menentukan dengan tepat rencana guna lahan tanpa dipengaruhi trend pasar, dan kekuatan pasar cukup kuat untuk mempertahankan rencana guna lahan sekarang sehingga rencana guna lahan dapat diabaikan.
Pada aspek penawaran, nilai harga lahan mengindikasikan tingkat keuntu-ngan dari beberapa lokasi, komponen dari Tingkat keuntungan terdiri dari nilai potensial lokasi yang mendukung kegiatan produktifitas dan pemenuhan tingkat kepuasan dari aspek permintaan.
Komponen utama dari tingkat keuntungan lokasi didalam studi adalah aksesibilitas, dan Tingkat pelayanan (Level of Service). Kedua komponen ini dibentuk oleh sistem pembangunan, yaitu dari investasi publik atau swasta.
Idealnya, investasi sistem pembangunan, yaitu lokasi dan beberapa guna lahan mengacu pada rencana guna lahan yang bertujuan untuk mengefektifkan pembangunan untuk menciptakan pertumbuhan sistem aktivitas secara langsung.
Chapin, Kaiser, dan Godschalk (1996:92) berpendapat, perubahan guna lahan juga dapat terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan setempat yang merupakan rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa mendatang, projek pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dari pemerintah daerah. Perubahan guna lahan juga terjadi karena kegagalan mempertemukan aspek pasar dan politis dalam suatu manajemen perubahan guna lahan. Perubahan guna lahan secara umum artinya adalah menyangkut trans-formasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggu- naan lainnya.
Perubahan pola ruang sering sekali mengabaikan aspek lingkungan yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan perkotaan sudah dilakukan sejak mulai muncul kerusakan lingkungan pasca Revolusi Industri (akhir abad 19). Berbagai langkah atau pendekatan telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Perluasan kota pada lahan baru, pembangunan kembali kawasan kota terbangun disesuaikan dengan kebutuhan jaman, pembangunan ke arah horizontal dan vertical, merupakan upaya yang diharapkan dapat meningkatkan fungsi dan kualitas lingkungan perkotaan. Pendekatan peremajaan kota adalah salah satu upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.
Peremajaan kota pada awalnya merupakan tanggapan terhadap tekanan perubahan sosial dan ekonomi yang berakibat pada pengembangan fisik kota (Chopin, 1965). Dalam perkembangannya peremajaan kota atau lebih dikenal dengan urbanfenewel adalah satu cara untuk mengakomodasi pertumbuhan kota (urban growth) melalui upaya regenerasi terencana pada kawasan terbangun bermasalah dengan program yang bersiklus, terdiri dari : pembangunan kembali, rehabilitasi dan konservasi (Chapin, 1965). Dengan demikian inti persoalan peremajaan kota bukan pada upaya menciptakan perubahan kawasan kota dengan perluasan atau pembangunan baru tetapi lebih menekankan pada upaya, menciptakan perubahan kawasan kota dengan menata kembali, memanfaatkan kembali potensi dan fungsi yang ada termasuk lingkungan, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah yang lebih memadai dari kawasan kota yang diremajakan.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar